Sepenuh Hati
Oleh Mahmud
Yunus
D
|
ikisahkan di salah satu sudut pasar Madinah al-Munawwarah ada
seorang pengemis tunanetra. Dia konon penganut agama Yahudi yang taat. Dia
mengherankan banyak orang karena ucapan-ucapannya yang tak lazim. Setiap kali
ada yang lalu-lalang di sekitarnya dia selalu mengatakan: “Wahai saudaraku! Engkau jangan sekali-kali
mendekati Muhammad. Dia gila. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tukang sihir.
Apabila engkau mendekatinya tentu engkau akan terpengaruh olehnya".
Suatu hari kabar tentang
keberadaan pengemis itu sampai di telinga Rasulullah SAW. Lalu suatu pagi,
beliau pun sengaja datang menemuinya. Benar saja, pengemis itu mengatakan hal
yang biasa dia katakan kepada orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya.
Yakni, menyuruh untuk menjauh dari Muhammad dan ajarannya. Dengan maksud agar
orang lain mengikuti ucapan-ucapanya, dia pun tak segan-segan menjelek-jelekkan
Rasulullah SAW.
Setelah memastikan keberadaan
pengemis itu, Rasulullah SAW dengan senang hati terus-menerus mengunjunginya.
Setiap pagi, beliau selalu membawa kurma terbaik untuknya. Tak hanya itu,
beliau pun selalu menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi itu pula,
beliau selalu mendengarkan ocehan pengemis itu dengan sabar. Meski pun
demikian, beliau tak pernah tersinggung. Bahkan, beliau tak pernah mengucapkan
sepatah kata pun. Rentetan kejadian ini baru berhenti beberapa saat sebelum
Rasulullah SAW meninggal dunia.
Semenjak Rasulullah SAW wafat, pengemis itu sempat bertanya-tanya
dalam hati kecilnya. Mengapa orang yang selama ini setia mengunjunginya sudah
beberapa hari ini tak kunjung datang? Dia menyadari, saat ini tidak ada lagi
orang yang melayani dirinya dengan sepenuh hati. Ada perasaan menyesal, mengapa
tak pernah menanyakan siapa dia sebenarnya?
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, Abu Bakar RA menyempatkan diri
berkunjung ke Aisyah RA. Beliau bertanya kepada puterinya dengan lembut:
“Puteriku, adakah sunnah kekasihku (Rasulullah SAW) yang belum aku kerjakan?”.
Lalu Aisyah RA menjawab dengan penuh hormat: “Ayahanda, engkau adalah seorang
ahli sunnah. Hampir semua sunnah Rasulullah SAW sudah pernah ayah kerjakan
dengan sebaik-baiknya. Kecuali satu hal …”. Sahut Abu Bakar RA: “Apa itu? Lekas
katakan, puteriku”. Aisyah RA menjelaskan apa adanya: “Setiap pagi, beliau
selalu memberikan kurma terbaik kepada pengemis di salah satu sudut pasar di
kota ini. Dia tunanetra. Dia Yahudi”.
Berbekal segenggam kurma terbaik, keesokan harinya Abu Bakar RA
bergegas menuju pasar. Dia berusaha mencari keberadaan pengemis tunanetra yang
dikatakan puterinya. Berhasil. Dia segera memberikan kurma yang dibawanya
kepada pengemis itu. Pengemis tak lazim itu menolak pemberian tersebut. Dia
ingin langsung disuapi sebagaimana biasanya. Abu Bakar RA pun segera menyuapi
pengemis itu. Namun, pengemis itu malah marah besar. “Siapa sih kamu?”. “Aku
orang yang biasa”, tukas Abu Bakar RA. “Bukan! Kamu berbohong. Apabila orang
yang biasa itu datang; tangan ini tak pernah kesulitan untuk memegang dan mulut
ini tak pernah kesulitan untuk mengunyah”, cetusnya. Lalu ia melanjutkan:
“Orang yang biasa datang itu selalu menyuapiku dengan sepenuh hati. Sebelum
menyuapiku, dia menghaluskan terlebih dahulu makanan itu dengan mulutnya. Lalu,
dia menyuapiku dengan mulutnya”.
Menyimak keterangan tersebut, Abu Bakar RA tak kuasa membendung air
matanya. Sambil terisak-isak Abu Bakar RA mengatakan, bahwa yang dimaksud oleh
pengemis itu tidak lain adalah Rasulullah SAW. Ketahuilah, beliau sekarang
telah tiada. Aku hanyalah salah seorang sahabatnya, imbuhnya. Mendengarkan
penjelasan Abu Bakar RA, pengemis itu ikut larut dalam kesedihan. Dia menyesali
ucapan-ucapannya selama ini tentang Rasulullah SAW. Maka, di hadapan Abu Bakar
RA pengemis itu pun menyatakan masuk Islam.***