Selasa, 11 Juni 2013

Sepenuh Hati

Sepenuh Hati
Oleh Mahmud Yunus
D
ikisahkan di salah satu sudut pasar Madinah al-Munawwarah ada seorang pengemis tunanetra. Dia konon penganut agama Yahudi yang taat. Dia mengherankan banyak orang karena ucapan-ucapannya yang tak lazim. Setiap kali ada yang lalu-lalang di sekitarnya dia selalu mengatakan: “Wahai saudaraku! Engkau jangan sekali-kali mendekati Muhammad. Dia gila. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tukang sihir. Apabila engkau mendekatinya tentu engkau akan terpengaruh olehnya".   
Suatu hari kabar tentang keberadaan pengemis itu sampai di telinga Rasulullah SAW. Lalu suatu pagi, beliau pun sengaja datang menemuinya. Benar saja, pengemis itu mengatakan hal yang biasa dia katakan kepada orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Yakni, menyuruh untuk menjauh dari Muhammad dan ajarannya. Dengan maksud agar orang lain mengikuti ucapan-ucapanya, dia pun tak segan-segan menjelek-jelekkan Rasulullah SAW.
Setelah memastikan keberadaan pengemis itu, Rasulullah SAW dengan senang hati terus-menerus mengunjunginya. Setiap pagi, beliau selalu membawa kurma terbaik untuknya. Tak hanya itu, beliau pun selalu menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi itu pula, beliau selalu mendengarkan ocehan pengemis itu dengan sabar. Meski pun demikian, beliau tak pernah tersinggung. Bahkan, beliau tak pernah mengucapkan sepatah kata pun. Rentetan kejadian ini baru berhenti beberapa saat sebelum Rasulullah SAW meninggal dunia.
Semenjak Rasulullah SAW wafat, pengemis itu sempat bertanya-tanya dalam hati kecilnya. Mengapa orang yang selama ini setia mengunjunginya sudah beberapa hari ini tak kunjung datang? Dia menyadari, saat ini tidak ada lagi orang yang melayani dirinya dengan sepenuh hati. Ada perasaan menyesal, mengapa tak pernah menanyakan siapa dia sebenarnya?
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, Abu Bakar RA menyempatkan diri berkunjung ke Aisyah RA. Beliau bertanya kepada puterinya dengan lembut: “Puteriku, adakah sunnah kekasihku (Rasulullah SAW) yang belum aku kerjakan?”. Lalu Aisyah RA menjawab dengan penuh hormat: “Ayahanda, engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir semua sunnah Rasulullah SAW sudah pernah ayah kerjakan dengan sebaik-baiknya. Kecuali satu hal …”. Sahut Abu Bakar RA: “Apa itu? Lekas katakan, puteriku”. Aisyah RA menjelaskan apa adanya: “Setiap pagi, beliau selalu memberikan kurma terbaik kepada pengemis di salah satu sudut pasar di kota ini. Dia tunanetra. Dia Yahudi”.
Berbekal segenggam kurma terbaik, keesokan harinya Abu Bakar RA bergegas menuju pasar. Dia berusaha mencari keberadaan pengemis tunanetra yang dikatakan puterinya. Berhasil. Dia segera memberikan kurma yang dibawanya kepada pengemis itu. Pengemis tak lazim itu menolak pemberian tersebut. Dia ingin langsung disuapi sebagaimana biasanya. Abu Bakar RA pun segera menyuapi pengemis itu. Namun, pengemis itu malah marah besar. “Siapa sih kamu?”. “Aku orang yang biasa”, tukas Abu Bakar RA. “Bukan! Kamu berbohong. Apabila orang yang biasa itu datang; tangan ini tak pernah kesulitan untuk memegang dan mulut ini tak pernah kesulitan untuk mengunyah”, cetusnya. Lalu ia melanjutkan: “Orang yang biasa datang itu selalu menyuapiku dengan sepenuh hati. Sebelum menyuapiku, dia menghaluskan terlebih dahulu makanan itu dengan mulutnya. Lalu, dia menyuapiku dengan mulutnya”.

Menyimak keterangan tersebut, Abu Bakar RA tak kuasa membendung air matanya. Sambil terisak-isak Abu Bakar RA mengatakan, bahwa yang dimaksud oleh pengemis itu tidak lain adalah Rasulullah SAW. Ketahuilah, beliau sekarang telah tiada. Aku hanyalah salah seorang sahabatnya, imbuhnya. Mendengarkan penjelasan Abu Bakar RA, pengemis itu ikut larut dalam kesedihan. Dia menyesali ucapan-ucapannya selama ini tentang Rasulullah SAW. Maka, di hadapan Abu Bakar RA pengemis itu pun menyatakan masuk Islam.***

Arak Bertukar Madu

Arak Bertukar Madu
Oleh Mahmud Yunus
S
aat Umar bin Khaththab RA tengah berjalan-jalan di Madinah al-Munawwarah, tiba-tiba berpapasan dengan seorang pemuda tanggung yang gerak-geriknya mencurigakan. Menyadari pria yang ada di hadapannya Umar bin Khaththab RA, pemuda tanggung tersebut tampak benar-benar kaget. Dia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya. Secepat kilat dia berupaya menyembunyikan kendi yang dibawanya ke dalam jubah tebalnya. Namun, ternyata Umar bin Khaththab RA melihat gelagat itu dengan mata kepalanya.
Muncullah kecurigaan Umar bin Khaththab RA, “Hey! Apa sebenarnya yang kau bawa itu?”, katanya. Karena takut dimarahi oleh Umar bin Khaththab RA yang terkenal sangat tegas itu, pemuda tanggung itu pun menjawab sekenanya, “Yang saya bawa ini madu, Tuan”. Padahal, sebenarnya kendi itu berisi khamr (arak) sisa minumnya beberapa waktu sebelumnya. Hanya saja dia telah membulatkan tekadnya untuk berhenti mengonsumsi arak. Dia benar-benar kapok dan ingin segera meninggalkan tindakan bodohnya itu! Dia memastikan bahwa dia hendak bertobat. Dalam hatinya, dia memohon kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh agar Umar bin Khaththab RA tidak sampai memeriksa isi kendi yang dibawanya.
Awalnya seolah-olah doa pemuda tanggung tersebut diabaikan oleh Allah SWT karena Umar bin Khaththab RA tetap ingin membuktikannya sendiri. “Boleh saya lihat?”, kata Umar bin Khaththab RA sambil mendekat. Sebelum mengabulkan permintaan Umar bin Khaththab RA, pemuda tanggung tersebut benar-benar menyerahkan diri kepada Allah SWT bahwa dia tidak akan main-main lagi dengan arak. “Ya Rabb! Ampunilah hamba-Mu ini”, katanya. Dia  memohon ampun kepada yang Maha Pengampun dan yang Maha Menerima Tobat.
Di benaknya terbayang beberapa siksaan/adzab yang akan ditimpakan kepada mereka yang mengonsumsi arak. Pertama, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan janji-Nya kepada peminum minuman yang memabukkan, yakni Dia akan memberi kepadanya minuman dari Thiinatu al-Khabaal. Sahabat bertanya: “Ya Rasulallah apa yang dimaksud Thiinatu al-Khabaal itu?” Beliau menjawab: “Yaitu keringat dan darah penghuni Neraka” (HR Muslim dan Nasa’i). Kedua, “Ada tiga golongan (manusia) yang shalatnya tidak akan diterima serta kebaikannya tidak akan diangkat ke langit yaitu budak yang lari dari tuannya hingga dia kembali dan meminta maaf kepadanya; isteri yang membuat suaminya marah kepadanya (karena menolak disetubuhi olehnya) hingga dia ridha kepadanya; dan peminum arak hingga dia insaf” (HR Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan Thabrani). Ketiga, “Orang yang minum arak tidak sampai mabuk, maka Allah akan menjauh darinya selama 40 malam, dan orang yang minum arak sampai mabuk, maka Allah tidak akan menerima tebusannya selama 40 malam. Dan jika mati dalam keadaan demikian, maka dia mati dalam keadaan seperti matinya penyembah berhala dan Allah berhak memberi minum berupa keringat dan darah penghuni Neraka kepadanya” (HR Hakim). Keempat, “Barangsiapa meminum arak di dunia, maka Allah akan mengharamkannya kelak di akhirat” (HR Bukhari dan Muslim). Kelima, “Barangsiapa meminum arak di dunia dan dia mati sedangkan dia belum bertobat, maka di akhirat dia tidak berhak meminumnya” (HR Muslim). Dan yang tak kalah pentingnya di benaknya terbayang pula, apa gerangan yang hendak dilakukan Umar bin Khaththab RA terhadapnya manakala beliau mengetahui isi kendi itu berupa arak?

“Si … Silakan, Tuan”, kata pemuda tanggung itu dengan berat hati. Umar bin Khaththab RA menerima kendi itu dengan kedua tangannya. Perlahan-lahan, dibukanya tutupnya. Lalu, dibauinya berkali-kali. Kemudian, dilihatnya dengan seksama. Ternyata, kendi itu benar-benar berisi madu! “Engkau benar!”, kata Umar bin Khaththab RA. Subhaanallaah. Allah lah yang telah menukar arak dengan madu lantaran pemuda tanggung itu telah bertobat.*** 

Rabu, 13 Juni 2012

Amalan Calon Pangeusi Sawarga

Amalan Calon Pangeusi Sawarga

Ku: Mahmud Yunus

Dawuhan Alloh SWT dina QS Al-Anbiya [21]: 35: ”Saban-saban jiwa baris ngarandapan maot”. Kitu deui manusa, isuk atawa géto pasti maot. Moal aya nu hirup salawasna. Waktuna? Taya nu nyaho. Dirahasiakeun. Ngan nu pasti ditétélakeun ku Alloh SWT dina QS Al-A’rof [7]: 34: ”Jeung pikeun saban-saban umat ogé aya ajalna. Nya upama (geus) datang ajalna, maranéhna moal bisa ménta dipundurkeun sakeudeung ogé jeung moal bisa ménta dipajukeun”. Kitu deui dina QS Al-Waqi’ah [56]: 60 Alloh SWT nandeskeun: ”Nya Kami nu geus mastikeun pati ka maranéh, jeung Kami moal bisa dihalang-halang”. Jadi, daék teu daék atawa suka teu suka maot téh ngadodoho ka urang. Umur urang sajatina unggal poé gé ngurangan. Lain nambahan. Upamana, jatah umur urang téh dipatok 60 taun. Umur urang ayeuna (20 Mei 2009) jangkep 59 taun. Kari itung sésana. Hasilna, jatah umur urang téh tepi ka April 2010.
Saéstuna, maot téh lain ahir perjalanan hirup manusa. Justru, ngarupakeun awal tina hirup jeung kahirupan nu abadi. Di alam langgeng (baka). Ari nu kudu dijadikeun perhatian ku urang nya éta hirup urang di alam kalanggengan téh sapinuhna ditangtukeun di alam dunya. Singgetna, mun di dunyana kagolongkeun jalma iman jeung sok migawé amal soléh nya di ahératna baris ditetepkeun jadi pangeusi Sawarga (QS Al-Baqoroh [2]: 25). Sabalikna, mun di dunyana kagolongkeun jalma kufur jeung ngabohongkeun ayat-ayat Alloh SWT tanwandé maranéhna baris digebruskeun ka Naraka turta langgeng di dinyana (QS Al-Baqoroh [2]: 39). Alatan kitu, sawadina urang saréréa nyiapkeun bekel sacukupna keur kahirupan di alam baka. Dumasar kana pidawuh Rosululloh SAW aya sawatara amalan nu bakal nganteurkeun urang ka Sawarga di antarana baé:
Nyiar élmu pangaweruh
Nyiar alias tolab élmu pangaweruh téh hukumna wajib keur sakumna umat Islam. Taya bédana antara muslim jeung muslimah. Ogé taya bédana antara kolot jeung budak. Lantaran sakumaha pidawuh Rosululloh SAW, nyiar élmu téh lumangsung saumur hirup. Sepanjang hayat dikandung badan. Minal mahdi ilal lahdi. Cindekna, saha baé nu ngahaja ngamomorékeun waktu (teu dimangpaatkeun keur diajar) baris cilaka. Hususna diajar élmu-élmu kaagamaan (Islam). Nurutkeun pandangan Al-Ghozaly élmu nu perelu disiar téh nya éta Al-Quran jeung tafsirna, hadis, fiqih, bahasa, jsté. Sedengkeun ceuk Ibnu Kholdun mah nu diperelukeun téh: (1) élmu lisan ngawengku Ėlmu Lughoh, Elmu Nahwu, Elmu Bayan, jsté. (2) élmu naqly saperti Elmu Tafsir, Elmu Hadis, Elmu Ushul Fiqh, jsté. (3) élmu aqly kayaning Elmu Mantiq atawa Logika, Elmu Alam atawa Sains, Elmu Katuhanan atawa Teologi, jsté. Perelu ditandeskeun, nu diwajibkeun di dieu téh tolab élmuna. Lain hasilna. Ngan mémang aya katerangan kieu: Jalma nu ngamalkeun hiji perkara teu jeung élmuna, (tangtu) amalna baris ditolak. Sabab, prakték nu teu didasarkeun kana téori tangtu teu bisa dipertanggungjawabkeun. Upamana baé, saméméh prak ngalaksanakeun solat; sing yakin heula yén urang geus ngarti kana prak-prakanana.
Dumasar kana HR Muslim ti Abu Hurairoh RA, Rosululloh SAW ngadawuh: Man salaka thoriiqon yaltamisu fiihi ’ ilman, sahhalalloohu lahu bihi thoriiqon ilal jannati. Hartosna: ”Sing saha jalma nu naratas jalan keur (kapentingan) nyiar élmu pangaweruh, Alloh baris ngagampangkeun pikeun manéhna jalan ka Sawarga”.
Nyampurnakeun wudhu bari ditungtungan ku ngado’a
Para ulama fiqih netepkeun yén wudhu ngarupakeun salasahiji syaréat Islam nu teu bisa disapirakeun. Sabab, wudhu ngarupakeun kawajiban nu disyaréatkeun langsung dina Al-Quran (QS Al-Mai’dah [5]: 6). Kadudukan wudhu kacida pentingna. Dumasar kana HR Bukhori, Muslim, Abu Dawud jeung Turmudzi ti Abu Hurairoh RA, Rosululloh SAW ngadawuh: ”Alloh teu nampi solat salasaurang ti aranjeun satungtung manéhna boga hadats, sahingga manéhna wudhu”. Hartina, wudhu téh ngarupakeun salasahiji sarat sahna solat. Mun wudhuna teu sah, nya solatna gé teu sah. Balukarna solatna ditolak.
Nyampurnakeun wudhu (komo dina kaayaan tiris pisan) diajénan luar biasa. Sakumaha ditétélakeun dina HR Muslim ti Umar bin Khottob RA, Rosululloh SAW ngadawuh: ”Saha baé nu nyampurnakeun wudhuna tuluy maca kalimah; ’Asyhadu an laa ilahaaha illalooh wahdahu la syariika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan ’abduhu wa rosuuluh’, pikeun maranéhna baris dibukakeun panto-panto Sawarga nu dalapan jeung maranéhna bisa asup ngaliwatan panto nu mana baé”. Kari milih.
Ngajawab adzan kalawan ihlas
Ngajawab kalimat-kalimat adzan kalawan tulus ihlas (lain karna hayang pangalem ti papada manusa jeung lain karna kapaksa) nu disoarakeun atawa dikumandangkeun ku muadzin (nu adzan) baris meunang ganjaran ti Gusti nu Maha Agung. Katerangan ieu didasarkeun kana HR Muslim ti Umar bin Khottob RA, saur anjeunna Rosululloh SAW ngajelaskeun: ”Nalika muadzin ngucapkeun kalimat; ’Alloohu Akbar, Alloohu Akbar’ tuluy salasahiji ti antara maranéh ngajawab, ’Alloohu Akbar, Alloohu Akbar’. Nalika muadzin ngucapkeun ’Asyhadu an laa ilaaha illallooh’, tuluy manéhna ngucapkeun ’Asyhadu an laa ilaaha illallooh’. Satuluyna nalika muadzin ngucapkeun ’Asyhadu anna Muhammadar Rosuulullooh’, manéhna ogé ngucapkeun ’Asyhadu anna Muhammadar Rosuulullooh’. Nalika muadzin ngucapkeun ’Hayya ’alash sholaah’, manéhna ngajawab ’Laa haula wala quwwata illa billaah’. Satuluyna deui nalika muadzin ngucapkeun ’Hayya ’alal falaah’, manéhna ngucapkeun ’Laa haula wala quwwata illa billaah’. Jeung nalika muadzin ngucapkeun ’Alloohu akbar, alloohu akbar’ manéhna ngucapkeun ’Laa ilaaha illallooh’ kalawan ihlas karna Alloh manéhna baris abus ka Sawarga”.
Ngadegkeun solat lima waktu
Dumasar kana HR Ahmad, Abu Dawud jeung Nasa’i ti ’Ubadah bin Shomit RA, Rosululloh SAW kantos ngadawuh: ”Aya lima waktu solat nu diwajibkeun ka hamba-hamba-Na. Saha baé nu ngalaksanakeun éta solat kalawan daria (teu nganggap énténg), mangka ngarupakeun kawajiban Alloh ngasupkeun maranéhna ka Sawarga”. Tegesna, Alloh SWT ngajamin yén jalma nu merhatikeun solat fardu kalawan daria baris jadi pangeusi Sawarga.
Ngadawamkeun solat sunat
Disarandékeun kana HR Muslim nu asalna ti Ummu Habibah, Rosululloh SAW nguningakeun ka umatna: ”Di antara calon ahli Sawarga téh nya éta nu sok mindeng ngalaksanakeun solat sunat (tathowwu’) dua belas rokaat jero sapoé sapeuting”. Malah dina hadis ieu ditétélakeun: ”Maranéhna baris disadiakeun imah di Sawarga”.
Sumujud ka Alloh SWT
Sedengkeun nurutkeun HR Muslim nu asalna ti Tsauban RA, Rosululloh SAW nandeskeun di antara calon pangeusi Sawarga téh nya éta nu sok remen sujud ka Alloh SWT. Saur Kangjeng Rosul: ”Satiap kali sujud, Alloh baris ngangkat darajatna jeung mupus dosana éta jalma”. Kajaba dosa syirik (QS An-Nisa [4]: 48).
Ngawangun masjid
Didasarkeun kana HR Muttafaq ’Alaih ti Usman bin Affan RA, Rosululloh SAW ngadawuh: ”Saha baé nu ngawangun masjid kalawan miharep karidoan Alloh SWT, (jaga di ahérat) baris disadiakeun imah di Sawarga”. Ngawangun masjid téh kacida pentingna keur syi’ar Islam. Ngawangunna mah, ku cara réréongan ogé bisa. Nu kabiruyungan boga harta, nya ku hartana. Nu pareng boga pangabisa atawa kaahlian, nya ku pangabisana atawa ku kaahlianna. Nu kabarengan boga tanaga, nya ku tanagana jsté. Jadi, teu kudu meleg-meleg sagala ti sorangan.
Nyampurnakeun haji jeung umroh
Amalan séjénna deui nu bisa nganteurkeun nu migawéna ka Sawarga téh nya éta nyampurnakeun haji jeung/atawa umroh luyu jeung tungtunan nu samistina. Numutkeun HR Muttafaqun ’Alaih ti Abu Hurairoh RA, Rosululloh SAW ngadawuh: ”Ti umroh ka umroh séjénna, ngarupakeun kiparat atawa panglebur dosa nu dilampahkeun di antara umroh nu dua téa”. Dumasar kana hadis ieu, upamana baé salira kantos ngalaksanakeun umroh nu munggaran taun 1999. Taun 2009 diparengkeun umroh deui, tah mun aya dosa nu dipilampah ku salira antara taun 1999 tepi ka 2009 téh dilebur ku ganjaran umroh. Satuluyna Rosululloh SAW ngajelaskeun: ”Jeung saéstuna teu aya ganjaran nu pantes dilélérkeun ka haji mabrur iwal ti Sawarga”.
Urang wangsulan deui, nu didugikeun bieu téh sapalihna amalan-amalan calon pangeusi Sawarga. Pamungkas, hayu urang sasarengan ngeureuyeuh ngamalkeun amalan-amalan kasebat luyu sareng kamampuhan séwang-séwangan. Amin.***
Al-Ghaffâr Ku Mahmud Yunus A l-Ghaffâr ngarupakeun salasahiji Asmâ al-Husnâ (asma nu saraé) nu jumlahna jejeg saratus. Upama diantaykeun ti mimiti asma kahiji nya éta Allah, nya Al-Ghaffâr téh posisina aya di urutan ka lima belas. Al-Ghaffâr ngarupakeun kecap jieunan. Ceuk sakaol, diwangun tina kecap ghafara hartina nutupan. Ceuk sakaol deui, asalna tina kecap al-ghafaru nya éta sarupaning tutuwuhan nu sok digunakeun keur ngubaran raheut. Nurutkeun harti nu kahiji, salaku Al-Ghaffâr Anjeunna nutupan dosa hamba-hamba-Na. Sedengkeun nurutkeun harti nu kadua, salaku Al-Ghaffâr Anjeunna maparinkeun rasa handeueul/hanjelu ka hamba-hamba-Na saban tas ngalakukeun pagawéan goréng (ma’siat). Rasa handeueul/hanjelu bisa digunakeun keur ngubaran “raheut”, tegesna mupus dosa hamba-hamba-Na. Satuluyna, nurutkeun Ibnu Al-Arabi kalimat Allâhummaghfir lī ngandung harti Mugi Allah ngarobih kaayaan abdi ku (kaayaan) nu langkung saé (batan kiwari). Kecap Al-Ghaffâr dina Al-Quran diulang lima kali. Di antarana baé Allah SWT ngadawuh: “Geura prak marénta pangampura ka Pangéran arandika, lantaran saéstuna Anjeunna téh Ghaffârâ/jembar pangampura” (QS Nûh [71] : 10). Dina ayat séjén Anjeunna ngadawuh: “Jeung saéstuna Kami téh Ghaffârâ/jembar pangampura ka sugri nu tarobat, turta ariman sarta ngalampahkeun amal saléh bari jeung tetep dina jalan pituduh” (QS Thâha [20] : 82). Dina tilu ayat liana, kecap Ghaffâr dikantétkeun jeung kecap séjén nya éta ‘Aziz. Nurutkeun ahli tafsir, kecap Ghaffâr nu dikantétkeun jeung kecap ‘Aziz ngandung harti leuwih jembar. Tegesna, salaku Al-Ghaffâr Anjeunna lain ukur Zat nu nutupan kasalahan jeung dosa hamba-hamba-Na tapi ogé nutupan perkara-perkara séjénna iwal ti dosa. Allah SWT nétélakeun Anjeunna jembar ku pangampura. Ieu nuduhkeun yén pangampura (maghfirah) Anjeunna ngalimpudan pangampura tina sagala dosa kajaba nyarékatkeun Allah (syirik). Dosa gedé jeung dosa leutik nu dihaja jeung nu teu dihaja. Perkara ngahampura dosa nu dihaja, mémang aya sarat-saratna. Di antarana baé nya éta kudu ditobatan heula ku tobat nasuha. Sagigireun ti éta nu migawéna kudu kaabus katégori ‘jalma nu dikersakeun ku Anjeunna’ (QS An-Nisâ [4] : 48 jeung 116). Ngeunaan perkara nu teu dihaja atawa nu teu dijieun-jieun, kacaturkeun Rasulullah SAW kantos ngadeuheus sarta neneda ka Allah SWT sangkan dihapunten tina sabab rasa kameumeut ka bojo-bojona nu teu tiasa disamikeun. Saur Rasulullah SAW harita: “Nun Gusti, geuning mung sakieu buktosna hasil jerih payah (dina perkara mikacinta ka bojo-bojo) abdi téh, mugi Gusti teu ngalepatkeun abdi dina perkara nu ku abdi teu tiasa diungkulan”. Imam Al-Ghazali ngasongkeun katerangan nu leuwih jembar. Saur anjeunna, Al-Ghaffâr nya éta: “Nu nembrakkeun kahadéan jeung Nu nyamunikeun kagoréngan”. Nurutkeun Al-Ghazali sakur dosa éta téh enas-enasna mah kagoréngan. Nya ku lantaran Anjeunna mibanda asma Al-Ghaffâr, ngahaja sawatara dosa hamba-Na disamunikeun sabuni-bunina. Lamun teu ditobatan baé, kakara dosa-dosa téh ditembrakkeun sahinasna jaga dina poéan balitungan amal (yaum al-hisâb). Kumaha cara Allah SWT nutupan, nyumputkeun atawa nyamunikeun kagoréngan nu aya di hamba-Na? Kahiji, Anjeunna “nutupan” organ bagian jero awak manusa nu kurang pantes katempona ku kaéndahan adeg-pangadegna. Pisakumahaeun teuing balukarna, saupama kabéh organ awak urang teu ditutupan? Kadua, Anjeuna nutupan gerentes haté turta angen-angen manusa nu papalingpang jeung papagon saréat Islam. Apan moal aya saurang ogé nu apal kana gerentes haté batur kajaba Allah SWT jeung dirina. Al-Ghazali ngémbohan penjelasan, mun seug manusa apal kana eusi haté batur saperti niat goréng, iri, dengki, goréng sangka, jsté tangtu hirup kumbuhna masarakat baris kaganggu. Muhammad Quraish Shihab nambahkeun pamanggihna, malahan salian ti nu dirusiahkeun ku dirina sewéng-séwangan, Allah SWT ogé nyamunikeun pangalaman nu geus kaliwat saperti kanyenyerian lantaran cita-citana teu tinekanan. Pangalaman-pangalaman sarupa kitu ngahaja disimpen sarikip-rikipna di bawah sadar. Katilu, Anjeunna nutupan dosa-dosa akibat palanggaran-palanggaran nu dihaja ku nu marigawéna. Nya éta dosa-dosa nu ditibankeun ka jalma-jalma nu ngahaja ngarémpak papagon hirup nu ditepikeun ku para Rasul Allah SWT. Salaku Al-Ghaffâr, Anjeunna ngajangjikeun kabéh dosa bakal diganti/ditukeur ku kahadéan-kahadéan satungtung maranéhna baralik deui (tarobat kalawan sabener-benerna tobat) ka Anjeunna. Jalma nu bobolokot dosa sapantesna disiksa ku siksaan nu manglipet-lipet jaga dina poé Kiamat, turta manéhna bakal langgeng di dinyana kalawan hina (QS Al-Furqân [25] : 69). Tapi salaku Al-Ghaffâr, Anjeunna ngadawuh: “Kajaba jalma-jalma nu tarobat, nu ariman turta ngalampahkeun amal saléh, nya pikeun maréhna mah Allah baris nukeurkeun kajahatan-kajahatan maranéhna ku kahadéan” (QS Al-Furqân [24] : 70). Malah sawatara ahli tafsir percaya, maghfirah Allah SWT lain ukur diancokeun keur jalma-jalma nu ariman tapi ogé keur jalma-jalma nu teu percaya kana bakal ayana poé balitungan amal. Dumasar kana QS Ar-Ra’d [13] ayat kagenep, Allah SWT ngadawuh: “Wa inna Rabbaka ladzû maghfiratin linnâs ‘alâ dhulmihim/Saéstuna Pangéran manéh jembar pangampura ka jalma-jalma tina perkara kadolimanana”. Dina ayat bieu ditandeskeun pangampura Al-Ghaffâr disayagikeun keur jalma-jalma nu darolim, lain ukur keur jalma-jalma nu ariman. Allah SWT baris nampi tobat jalma-jalma nu tulus-ihlas neneda ka Anjeunna. Najan dosana lir ibarat Gunung Uhud dina pada gedéna. Atawa, lir ibarat keusik nu aya di samudera dina pada lobana. Allah SWT ngadawuh: “Pok caritakeun: “Yeuh abdi-abdi Kami nu geus ngaliwatan wates-wates wangen ka dirina sorangan, poma arandika ulah pegat pangharepan tina rahmat Allah. Saéstuna Allah ngahapunten sakumna dosa-dosa (yaghfiru al-dzunûb jamî’â), saéstuna Anjeunna Nu Maha Jembar Pangampura tur Nu Maha Asih“ (QS Az-Zumar [39] : 53). Malah moal pamohalan Anjeunna bakal ngahampura kana dosa hamba-hamba-Na najan teu dipénta ti anggalna (tingali QS An-Nisa [4] : 116). Dina salasahiji hadis Rasulullah SAW ngadawuh: “Sahabat Nabi SAW, Anas RA nyaurkeun: “Kaula ngadangu Rasul SAW ngadawuh: “Allah ngadawuh: Héy putra/putri Adam, satungtung manéh ngado’a jeung ménta pangampura ka Kami, Kami baris ngahampura, kana perkara nu dilampahkeun ku manéh baréto/baheula, Kami teu paduli (sanajan dosa manéh réa kacida). Héy putra/putri Adam, upama dosa manéh geus mapakan langit, tuluy manéh ménta pangampura ka Kami, Kami baris ngahampura. Ibaratna manéh datang ka Kami kalawan mawa wadah sagedé (planet) Bumi nu pinuh ku dosa jeung datang ka Kami tanpa nyarékatkeun Kami jeung nu lian (baca: lain ti golongan jalma musyrik), tanwandé Kami baris datang ka manéh sagedé wadah nu disebut tadi/tetep bakal dihampura” (HR At-Tirmidzi). Malahan nurutkeun hiji riwayat jalma nu ngalanggengkeun istighfar tetep bakal ditarima tobatna, sanajan manéhna bulak-balik ngalampahkeun dosa tujuh puluh kali saban poéna. Nguping katerangan bieu, Abu Dzar RA héran satengah teu percaya. Naha bet jalma nu bulak-balik ngalampahkeun dosa tuluy bulak-balik ngalaksanakeun tobat alias tobat sambel, tobatna tetep ditarima? Hiji waktu sahabat Abu Bakar RA, susumpahan anjeunna moal rék ngahampura kasalahan Misthah (salasaurang nu milu nyebarkeun fitnah ka Aisyah RA putrina téa). Padahal salila ieu, Misthah téh dinafkahan/dibalanjaan ku anjeunna. Ternyata, sikep Abu Bakar RA kasebut téh salah/kaliru. Allah SWT ngadawuh: “Jeung teu pantes jalma-jalma nu marampuh turta aya kalonggaran ti antara maranéh susumpahan yén moal ngabantu ka kulawarga nu dareukeut, ka jalma-jalma nu mariskin jeung ka nu hijrah di jalan Allah, tapi maranéhna kudu dimaapkeun turta dihampura. Naha maranéh téh teu hayang dihampura ku Allah? Jeung Allah téh Ghafûr/Maha Jembar Pangampura jeung Rahîm/Maha Mikaasih” (QS An-Nûr [24] : 22). Sabadana “ngaderes” (najan alakadarna) ngeunaan seluk-beluk nu aya patalina jeung Al-Ghaffâr, sakuduna urang ngalenyepan malah béh dituna mah ngalarapkeun sipat-sipat Al-Ghaffâr dina kahirupan sapopoé luyu jeung kamampuhan masing-masing. Di antarana baé: Kahiji, aéb, kagoréngan, nya kitu deui dosa nu aya di diri urang sakuduna dirusiahkeun. Ulah sagala rupa nu aya di diri urang dibéjakeun ka batur. Rasulullah SAW ngadawuh: “Kabéh umat Kami baris meunang pangampura kajaba jalma-jalma nu tanpa tédéng aling-aling migawé kama’siatan. Kaabus tanpa tédéng aling-aling, jalma nu peutingna ngalampahkeun kagoréngan tuluy isukna manéhna ngabéjakeun éta kajadian ka papadana (padahal saéstuna Allah SWT nutupan/ngarusiahkeun éta kajadian)” (HR Bukhari). Kadua, nutupan/ngarusiahkeun aéb, kagoréngan, nya kitu deui dosa nu aya di diri dulur-dulurna atawa baraya-barayana. Malah sabisa-bisa mah nu dibéjakeun téh kahadéana. Kituna ogé lain dimaksudkeun keur ‘ujub jeung/atawa takabur. Rasulullah SAW ngadawuh: “Teu aya hiji jalma nu nutupan aéb dulurna di dunya, kajaba Allah baris nutupan aébna jaga di ahérat” (HR Muslim ti Abu Hurairah). Dina hadis séjéna, Rasulullah SAW ngadawuh: “Saha baé nu nutupan aéb sasama muslim, Allah baris nutupan aébna di dunya jeung di ahérat”. Sabalikna, saha baé nu biasa ngabolékérkeun aéb, kagoréngan jeung dosa dulur-dulurna (kajaba di pengadilan kitu ogé mun manéhna dipercaya jadi saksi, jsb.), nu biasa dendam-kesumat, nu biasa ngawales kajahatan ku kajahatan, nu biasa nyebarkeun fitnah, nu sok goréng sangka, jrrd. hakékatna teu mibanda sifat Al-Ghaffâr saeutik-eutik acan. Padahal, sakumaha nu ditandeskeun dina QS An-Nûr [24] ayat ka-22 tétéla saréréa mikabutuh kana maghfirah ti Allah SWT. Sakali deui pidawuh-Na: “Naha maranéh teu hayang dihampura ku Allah SWT?” Wallâhu A’lam***

Sabtu, 09 April 2011

The Five Pillars of Faith

The five pillars of faith are duties each Muslim performs to demonstrate his or her faith.
1. Testimony of Faith (Kalima)
One must state, "There is no god, but Allah, and Muhammad is the Prophet of Allah." It consists of three parts
a) To reject all the false gods.
b) To accept Allah as the only sole creator of everything.
c) To Mohammad as the last messenger of Allah.
Quran declares, "Say: He is Allah, the One and Only! Allah, the Eternal, Absolute; He begetteth not nor is He begotten. And there is none like unto Him. "
2. Prayer (Salat)
It is compulsory for every Muslim to pray five times a day at respective timings facing towards the direction of Mecca. During the prayer, Muslims narrate verses from the Holy Quran, specially the following prayer which is recited at least 17 time a day,
"All praise is due to Allah, Lord of the worlds, The Most Gracious, the Most Merciful, and Sovereign of the Day of Judgment. It is You alone we worship and You alone we ask for help. Guide us to the straight path; The path of those upon whom You have bestowed favor, not of those who have evoked Your anger or of those who are astray." (1:1-7)
Quran tells about those who will get eternal success by stating that, "Certainly will the believers have succeeded, they who are during their prayer humbly submissive" (23:1-2)
3. Almsgiving (Zakat)
The word Zakat means "to grow" or "to purify". It literally means to gain Allah's blessings and purify the wealth by helping the needy. It is mandatory on every Muslim to give 2.5% of their yearly savings (or excess money) for charity.
Quran emphasizes the importance of zakat on various occasions, "Alms are for the poor and the needy, and those employed to administer the (funds); for those whose hearts have been (recently) reconciled (to Truth); for those in bondage and in debt; in the cause of Allah. and for the wayfarer: (thus is it) ordained by Allah, and Allah is full of knowledge and wisdom." (9:60)
4. Fasting (Sawm)
Following zakat, every Muslim is required to fast during the month of Ramadan from sunrise to sunset. During this period, Muslims are forbidden to eat, drink, smoke or have an intercourse. It not only physical discipline in one's life, but it is also a way to feel the afflictions of the poor.
Quranic verses explain fasting in detail,
"O ye who believe! Fasting is prescribed to you as it was prescribed to those before you, that ye may (learn) self-restraint" (2:183)
"Ramadhan is the (month) in which was sent down the Qur'an, as a guide to mankind, also clear (Signs) for guidance and judgment (Between right and wrong). So every one of you who is present (at his home) during that month should spend it in fasting, but if any one is ill, or on a journey, the prescribed period (Should be made up) by days later. Allah intends every facility for you; He does not want to put to difficulties. (He wants you) to complete the prescribed period, and to glorify Him in that He has guided you; and perchance ye shall be grateful." (2:185)
5. Pilgrimage (Hajj)
Hajj literally means to "set out for place". For Muslim, it is a pilgrimage to Kaaba (House of Allah) in Makkah. It is the responsibility of every physically and financially able Muslim to perform this offering at least once in a lifetime. Hajj is performed on the 10th day of Dhu al-Hijjah (the 12th and the final month of the Islamic calendar). Hajj is the symbol of unity among the Muslims. Millions of believers from all over the world participate in the ritual irrespective of their caste, color, creed or tradition. It tears down the difference of social status and brings all the Muslims on one platform. During this occasion, men only wear two unstitched clothes; one covers the lower part, and the other is wrapped around the shoulders. Women wear simple white dress and headscarf.
Allah says in the Holy Quran, "For Hajj are the months well known. If any one undertakes that duty therein, Let there be no obscenity, nor wickedness, nor wrangling in the Hajj. And whatever good ye do, (be sure) Allah knoweth it. And take a provision (With you) for the journey, but the best of provisions is right conduct. So fear Me, o ye that are wise." (2:197)
Though this page has been carefully researched, the author does not claim expertise on Islam.
Please send questions, comments, and corrections to emuseum@mnsu.edu and inlcude the URL of this page.
If you are Muslim, your feedback is much appreciated.
References
McDowell, Josh and Don Stewart
1992[1983] Handbook of Today's Religions. Twelfth printing. Nashville: Thomas Nelson Publishers.

Islamic City
Basics of Becoming a Muslim. Electronic Document, http://www.islamicity.com/mosque/Muslim.htm, accessed March 14,2009.

Shelley, Fred M. and Audrey E. Clarke, eds.
1994 Human and Cultural Geography. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Publishers.

Image Credits
"Allah" and "Muhammad" caligraphy intertwined. Wazir Khan Mosque. Photo taken by "Razanoor."
http://www.flickr.com/photos/razanoor/166021178/


Written by: Salman Hakim, 2009

Mengingat Kematian

Oleh: Mahmud Yunus
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan (kepada Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS Al-Jumuah [62]: 8). Merujuk pada ayat ini, ada empat hal menarik untuk kita renungkan: (1) dengan segala daya-upaya, manusia selalu menghindari kematian; (2) meskipun demikian, faktanya tidak seorangpun lolos dari kehadirannya; (3) siapun dan apapun keyakinannya, bakal dikembalikan kepada Allah SWT; dan (4) semuanya (menurut sebagian pakar yang telah mukallaf saja) pada saatnya akan dihadapkan pada prosesi perhitungan amal. Setelah itu, semua amal perbuatan mereka akan dibalas dengan seadil-adilnya.
Kebenaran ayat ini telah nampak secara kasat mata. Kita menyaksikan, banyak orang yang menggunakan hartanya, kekuasaannya, dan popularitasnya untuk “menghindari” kematian. Namun, sebagaimana kita saksikan tak seorangpun mampu menolaknya. Tidak sedikit orang yang sangat kaya, kini telah meninggal dunia. Tidak sedikit orang yang sangat berkuasa, kini telah tiada. Tidak sedikit pula orang yang sangat populer, kini telah kembali ke haribaannya. Mungkin di antaranya, kerabat atau sahabat kita sendiri yang amat kita cintai. Kita sendiri tidak tahu kapan, di mana, dan dengan cara apa kematian itu datang menjemput. Namun, banyak contoh kematian yang datangnya tiba-tiba. Lalu, ada yang meninggal dunia di darat, di laut, dan di angkasa. Kita pun menyaksikan, ada yang meninggal dunia dalam keadaan taat dan ada pula yang dalam keadaan maksiat. Tak ayal lagi, kita harus senantiasa waspada.
Adapun kondisi nyata di akhirat, bahwa semua manusia bakal dikembalikan kepada-Nya dan bakal diperhitungkan semua amalnya, baru bisa dibuktikan kelak sesudah kita berada di sana. Memang, kita belum dapat memastikannya sekarang. Namun, dalam pengetahuan Zat yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu (baik yang ghaib maupun yang nyata) semuanya itu pasti terjadi.
Sahabat Anas RA meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah mengingat kematian, karena ia (dapat) menghilangkan dosa dan membuat zuhud di dunia”. Suatu saat Ibn Umar RA berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW yang ketika itu sedang dikelilingi sekelompok orang. (Lalu) seorang sahabat dari kalangan Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling bijak dan paling mulia (dalam hidupnya), wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling tekun mempersiapkan diri untuk menyongsong kehidupan akhirat. Mereka itulah orang-orang bijak yang (bakal) memperoleh kemuliaan di dunia dan keagungan di akhirat”.
Diceritakan oleh Shafiyyah RA, suatu hari ada seorang perempuan yang “curhat” kepada Aisyah RA soal kekerasan hatinya. Lalu Aisyah RA berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya hatimu akan menjadi lembut”. Oleh sebab itu, mengingat kematian seyogyanya menjadi “santapan” kita sehari-hari. Wa Allahu A’lam.***

Memelihara Keikhlasan

Memelihara Keikhlasan
Oleh: Mahmud Yunus
A
llah SWT menegaskan: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS Al- Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat lainnya: “Luruskanlah mukamu (dirimu) pada setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya” (QS Al-‘Araf [7]: 29). Ahli tafsir menjelaskan yang dimaksud dengan lurus yaitu jauh dari syirik (menyekutukan Allah SWT dalam segala bentuknya dan terhindar dari penyimpangan sekecil apapun). Kewajiban menjaga keikhlasan dalam beribadat kepada Allah SWT ditegaskan berulang-ulang di dalam Al-Quran. Bahkan, surat ke-112 dinamai dengan Al-Ikhlash (Memurnikan keesaan Allah).
Secara fisik surat Al-Ikhlash itu “hanya” terdiri dari empat ayat pendek, namun kandungannya amat luar biasa. Rasulullah SAW bersabda: “Membaca ‘qul huwa Allahu ahad’ pahalanya setara dengan membaca sepertiga Al-Quran” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibn Majah, Malik, Ahmad, Thabrani, Al-Bazzar, dan Abu ‘Ubaid). Oleh karena itu, Saja’ Al-Ghanawi RA mengatakan: “Barang siapa membaca ‘qul huwa Allahu ahad’ tiga kali, maka ia seakan-akan membaca Al-Quran seluruhnya”. Atau sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Muadz ibn Anas RA berkata: ”Barangsiapa membaca ‘qul huwa Allahu ahad’ sebelas kali, maka Allah (akan) membangunkan sebuah rumah untuknya di Surga”. Atau seperti yang diriwayatkan Thabrani, bahwa Fairuz RA berkata: “Barangsiapa membaca ‘qul huwa Allahu ahad’ seratus kali, di dalam shalat atau lainnya, maka ia dicatat oleh Allah sebagai orang yang terbebas dari siksa Neraka”. Dan, masih ada beberapa riwayat yang lainnya. Namun, perlukah kita menghitung-hitung “kebaikan” atau “ketaatan” kita sendiri?
Menurut Ibn Sina sebagaimana dikutip Muhammad Quraish Shihab dalam salah satu karyanya, niat/motivasi beribadat itu bertingkat-tingkat. Pertama, tipe pedagang (mengharap keun-tungan). Kedua, tipe budak/pelayan (takut terhadap majikannya). Ketiga, tipe ‘arif (bersyukur atas segala yang diberikan Allah SWT kepadanya). Lalu, Shihab menambahkan tipe lainnya yang ia namakan sebagai tipe robot (otomatis, tanpa pemikiran, tanpa pemahaman, dan tanpa penghayatan).
Tentu bijaksana, jika kita terbiasa melaksanakan ibadat menurut tipe ‘arif. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bahwa tidak sedikit amal (ibadat) yang dibatalkan atau dihapuskan pahalanya akibat niatnya tidak murni karena Allah SWT. Wa Allahu ‘Alam.***